REKONFUNEWS.COM, JAKARTA || Kejaksaan Agung Republik Indonesia, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, telah mengambil langkah signifikan dalam penerapan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif). Dalam sebuah ekspose virtual yang berlangsung pada Rabu, 30 Oktober 2024, JAM-Pidum mengumumkan penghentian proses hukum pada 14 kasus pidana. Keputusan ini bertujuan untuk memberikan alternatif penyelesaian yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan hubungan antara tersangka dan korban.
Salah satu kasus yang disorot adalah penadahan yang melibatkan Moh. Rahmat alias Ome bin Joni Arif dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Kasus ini bermula pada 10 Agustus 2024, ketika tersangka mendengar percakapan antara saksi Agus Maulana bin Tb Makruf dan Irwan Prasetyo, di mana Agus menawarkan sepeda motor Yamaha Vega ZR 2010 berwarna hitam untuk digadai. Merasa kasihan, tersangka menerima motor tersebut seharga Rp600.000, meskipun tanpa dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Keesokan harinya, tersangka kembali menggadaikan motor tersebut kepada seorang teman seharga Rp800.000. Tindakan ini mengakibatkan penangkapan tersangka oleh pihak kepolisian Polsek Teluk Betung Timur pada 21 Agustus 2024. Setelah ditangkap, tersangka dan pihak Kejaksaan Negeri Bandar Lampung sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara damai.
Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Helmi, S.H., M.H., bersama dengan Kasi Pidum Maudin, S.H., M.H., dan Jaksa Fasilitator Dina Arifiana, S.H., dan Alex Sander Mirza, S.H., memutuskan untuk menggunakan mekanisme Restorative Justice dalam penyelesaian kasus ini. Dalam proses tersebut, tersangka mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban, yang kemudian menerima permintaan maaf tersebut dan memohon penghentian proses hukum.
Permohonan penghentian penuntutan yang diajukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung disetujui oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung, Dr. Kuntadi, S.H., M.H. Selain kasus penadahan ini, JAM-Pidum juga menyetujui penghentian proses hukum pada 13 kasus lain yang melibatkan tindak pidana seperti penganiayaan, pencurian, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Penghentian proses hukum ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, antara lain adanya proses perdamaian di mana tersangka telah meminta maaf dan korban memberikan maaf, serta tersangka yang tidak memiliki catatan kriminal sebelumnya. Ancaman pidana yang dikenakan juga tidak lebih dari 5 tahun, dan proses perdamaian dilakukan tanpa tekanan atau paksaan. Terdapat kesepakatan bersama antara tersangka dan korban untuk tidak melanjutkan perkara ke pengadilan demi kebaikan semua pihak.
JAM-Pidum menegaskan kepada seluruh Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum No. 01/E/EJP/02/2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Langkah ini diharapkan dapat memperkuat penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Keadilan restoratif tidak hanya menekankan pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan hubungan antara tersangka, korban, dan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat merasakan manfaat nyata dari keadilan yang lebih manusiawi, serta menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan saling mendukung. Melalui pendekatan ini, Kejaksaan Agung berkomitmen untuk mengedepankan keadilan yang memberikan ruang bagi penyelesaian yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.
( CH86 )
Eksplorasi konten lain dari REKONFU NEWS
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.